Oleh : Agus Riyanto
Artikel ini saya tulis untuk mencoba menjawab pertanyaan sahabat pembaca yang masuk via email. Terima kasih bagi sahabat yang telah mengajukan pertanyaan, sehingga kita bisa sharing yang semoga ada manfaatnya. Pertanyaan yang diajukan cukup panjang, namun akan saya kemukakan di sini intinya saja.
Inti pertanyaan yang dimaksud adalah apakah manusia itu dilahirkan dengan kemampuan otak yang sama atau berbeda? Tentang kreativitas seseorang, kenapa antara yang satu dengan yang lain berbeda. Kenapa ada yang "wah" dan ada yang "biasa-biasa" saja? Tentang beberapa bangsa di bumi ini; kenapa ada yang bisa menciptakan peradaban dan teknologi tinggi, tapi kita tidak atau belum bisa demikian. Apa karena makanannya, lauknya, minumannya, orangtua atau keluarganya, atau semua itu karena takdir? Begitulah kira-kira rasa penasaran yang diungkapkan oleh sahabat tersebut.
***
Kemajuan hidup bisa kita peroleh dari seberapa besar atau seberapa sulit pertanyaan yang ingin kita jawab dalam kehidupan ini. Maksudnya diri kita yang menjadi jawaban pertanyaan kita sendiri. Misalnya pertanyaan, "Apakah semua orang memiliki kesempatan sukses yang sama?" Kita bisa menjawabnya dengan apakah diri kita bisa sukses dengan segala hambatan dan keterbatasan yang ada. Jika kita bisa menjadi diri yang "sukses" maka pertanyaan itu akan terjawab dengan sendirinya. Demikian juga sebaliknya, jika ternyata "gagal", pasti kita juga memiliki data penyebab kenapa kita "gagal".
Untuk mulai menjawab pertanyaan di atas, saya akan mengutip apa yang pernah dikatakan Buckminster Fuller sebagai berikut: All children are born geniuses; 9.999 out of every 10.000 are swiftly inadvertently degeniusized by grownups.
Jadi sebenarnya pada awalnya kita semua sebenarnya memiliki kejeniusan atau bisa dikatakan, memiliki kemampuan otak yang sama. Namun sayang, seiring dengan pertumbuhan, kejeniusan itu terkikis atau menjadi terpendam secara tidak disadari karena pengaruh lingkungan, baik lingkungan keluarga, masyarakat dan terutama pendidikan.
Untuk lebih jelasnya, saya akan mengisahkan seperti apa yang saya peroleh dari Talk Show Nasional bersama Kak Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak, tanggal 24 Januari yang lalu. Tentunya di sini dengan gaya cerita dan daya ingat saya.
Al kisah, di sebuah hutan-sebut saja Alas Roban--yang dihuni beragam jenis hewan, menteri pendidikan Alas Roban memberlakukan kurikulum sekolah yang sama untuk semua jenis hewan. Semua penghuni Alas Roban dianggap sama, sehingga harus belajar pelajaran yang sama dengan porsi yang sama pula.
Maka di sekolah, ketika pelajaran memanjat pohon, sang harimau dengan mudah naik, sementara itik harus bersusah payah memanjat dan tidak juga berhasil. Si monyet juga hampir menangis ketika mengikuti pelajaran menyelam, sementara katak dengan mudahnya masuk ke air. Demikian juga harimau, hampir tenggelam ketika mati-matian mengikuti pelajaran renang, sementara itik dengan gembiranya beranang di atas air. Ketika pelajaran bergantung di pohon, monyet dengan senangnya berayun-ayun di dahan, sementara si buaya dengan susah payah hanya bisa meraba-raba akarnya. Begitu seterusnya, dengan hewan-hewan lain hingga lambat laun mereka lupa tentang keahlian unik yang ada pada dirinya sejak lahir karena harus mempelajari sesuatu yang bukan bakat atau bidangnya, dan terkadang dipaksakan. Akhirnya, itik menjadi tidak bisa berenang, katak lupa dengan keahliannya menyelam, monyet lupa caranya memanjat pohon, dan harimau hanya bisa mengaum.
Demikianlah dahulu kita menjalani masa pertumbuhan. Karena kita dianggap sama dengan yang lain dan harus belajar sangat banyak hal yang belum tentu itu sesuai dengan keunikan diri kita, akhirnya jadilah diri kita yang sekarang; yang ketika ditanya, "Apa cita-citamu?" Kita hanya geleng-geleng kepala. "Apa bakat atau talentamu?" Kita juga menjawab, "Tidak tahu...".
Yang harus kita pahami di sini adalah keunikan diri yang masing-masing pribadi berbeda. Bahkan pada anak kembar sekalipun, tidak bisa disamakan dalam segala hal. Tetap saja ada perbedaan bawaan lahir yang harus diperhatikan.
Adi W. Gunawan dalam artikelnya yang berjudul "Born To Be A Genius but Conditioned To Be An Idiot", menjelaskan bahwa anak dilahirkan dengan potensi menjadi seorang jenius, namun proses pendidikan yang salah telah membuat anak tidak mampu mengembangkan potensinya secara optimal. Kita tidak menyadari potensi diri yang sesungguhnya. Kalaupun kita tahu dan sadar akan potensi ini, kita merasa tidak mampu untuk mengembangkannya secara optimal.
Hal di atas, masih menurut Pak Adi, menyebabkan anak memiliki konsep diri yang buruk. Adapun cirri-cirinya yaitu:
Pertama, anak tidak atau kurang percaya diri.
Kedua, anak takut berbuat salah.
Ketiga, anak tidak berani mencoba hal-hal baru.
Keempat, anak takut penolakan.
Kelima, anak tidak suka belajar dan benci sekolah.
Kemungkinan besar karena proses pendidikan dan pengaruh lingkunganlah, kita yang pada awalnya memiliki kejeniusan yang sama, namun setelah dewasa menjadi berbeda kualitasnya. Bisa diibaratkan seperti benih tanaman, jika ia tumbuh di tanah yang subur dengan iklim yang sesuai maka bisa dipastikan tanaman itu akan tumbuh seperti yang diharapkan. Beda kasusnya jika meskipun benih unggul, impor pula, namun jika ditanam di tanah yang tandus dan iklimnya tidak sesuai maka bisa dipastikan benih itu tidak akan tumbuh atau mati. Sebagai contoh, saya juga pernah mencoba menanam pohon apel di depan rumah, namun akhirnya mati juga. Ya, karena struktur tanah dan iklim di daerah saya bukanlah tempat yang tepat untuk menanam apel.
Tentang kreativitas seseorang atau suatu bangsa sekalipun; kenapa ada yang bisa menciptakan teknologi tinggi sementara yang lain tidak demikian, menurut saya itu karena kebudayaan, sejarah sosial dan ekonomi, sistem pendidikan, nenek moyang dan nilai hidup yang dianut masing-masing orang atau bangsa itu berbeda. Kita tidak bisa menyamakan diri dengan bangsa Amerika, Eropa ataupun Jepang karena bangsa kita juga memiliki ciri khas sendiri.
Bangsa kita dijajah sekitar 3,5 abad dan dahulu berasal dari kerajaan-kerajaan yang bernuansa Hindu, Budha dan Islam. Nenek moyang kita juga petani dan pelaut sesuai dengan keadaan alam Indonesia. Jadi kita boleh kagum dengan Amerika yang bisa membuat satelit, roket dan mendaratkan manusia di bulan, namun kita juga tidak boleh melupakan Candi Borobudur yang masuk dalam tujuh keajaiban dunia.
Kita mungkin kagum dengan bangsa Jepang yang bisa merajai dunia industri elektronik dan kendaraan bermotor, namun kita juga harus bangga memiliki kekayaan budaya dan etnik yang beragam. Mungkin rasa bangga kita kian sirna karena kepribadian kita sebagai bangsa yang besar telah tenggelam oleh laju globalisasi, dan lupa bahwa kita juga memiliki keunikan tersendiri. Hanya kita belum mengoptimalkannya, dan lebih memilih meniru budaya atau teknologi dari luar yang kita nilai lebih canggih. Boleh-boleh saja kita melakukan alih teknologi agar tidak terlalu ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain, tapi kita juga tidak boleh melupakan bahwa negara kita juga masih berbasis pada pertanian dan kelautan; jika kita masih mau melihat potensi alam kita yang ada di ribuan pulau dan luasnya perairan laut yang kita miliki.
Adapun tentang makanan, lauk, minuman, orangtua atau keluarga, menurut saya tidak ada kolerasinya secara langsung dengan "keluarbiasaan" seseorang atau suatu bangsa. Kita bisa bercermin diri mengapa bangsa kita masih tertinggal dari bangsa lain, mungkin itu karena kita sebagai bangsa masih malas, kurang belajar, terlalu pasrah pada keadaan, dan kurang maksimal menggunakan kejeniusan otak kita. Saya juga sering mendengar gurauan bahwa kalau otak manusia itu ada yang menjual maka yang paling mahal adalah otak orang Indonesia. Tahu alasannya? Katanya karena otak orang Indonesia masih orisinil, dengan artian "tidak pernah atau jarang dipakai". Sungguh menyedihkan ya...
Atau semua itu karena takdir?
Apalagi yang ini, tentu tidak masuk akal. Kata seorang mentor saya, "Takdir akan turun jika kita telah berusaha semaksimal mungkin". Jadi tentang hal ini tidak usah dibahas lebih jauh.
Yang ingin saya kemukakan di sini adalah ada tertulis "...Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..."
***
Demikianlah jawaban yang dapat saya kemukakan. Jadi, sudah seharusnyalah kita bisa memahami keunikan diri kita masing-masing. Melihat bahwa kita-sebagai individu maupun bangsa-memiliki potensi dan keunggulan tersendiri yang bisa kita berdayakan agar bisa menjadi manusia atau bangsa yang luar biasa.
Jika kita berfokus pada kelebihan yang melekat pada diri kita maka kemajuan bisa kita peroleh, namun jika kita hanya melihat kekurangan atau keterbatasan yang ada pada diri kita, bisa dipastikan kemajuan atau kesuksesan akan semakin jauh dari jangkauan kita.
Semoga bermanfaat! [AR]
Agus Riyanto
Penulis buku "Born To Be A Champion", bisa dihubungi di webblog http://agusriyanto.wordpress.com atau melalui email: agus4ever@gmail.com.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment