Proses atau Hasil ?

Sebuah kisah klasik yang bisa terjadi dimana saja, menimpa siapa saja, kapan saja.

Al-kisah sebutlah namanya si fulan yang sudah belasan tahun bekerja di perusahan, sebutlah perusahan Indonesia Makmur. Jabatannya adalah sebagai seorang anak buah. Kebetulan ‘bapak buah’-nya korup. Si Fulan terjebak buah simalakama, ikut korup dia tahu itu salah, tidak ikut korup dia tersingkir atau tergencet (namanya juga anak buah). Sebagian anda mungkin akan langsung ekstrim menjawab : ya kalo sudah tahu mana benar mana salah, jangan ikuti yang salah donk…

Ntar dulu, biarkan cerita ini selesai. Tidak baik memotong..

Singkat cerita, si Fulan dan bapak buah-nya ketahuan dan terbukti bersalah. Keduanya dipecat dengan tidak hormat. Hingga satu hari (setelah sekian lama si fulan hidup terkatung-katung men’hidupi’ keluarganya), ia memberanikan diri mencoba melamar kembali ke perusahaan itu. Indonesia Makmur adalah perusahaan bonafide yang tidak mentolerir perilaku seperti itu. Akhir cerita, si Fulan tidak juga kunjung mendapat kerja. Ia jadi tambah tua dan sakit-sakitan. Perusahaan lain tidak mau menerima karena sudah mendapat ‘info’ dari Indonesia Makmur. Keluarganya tidak perlu diceritakan. Si Fulan akhirnya is death alias wafat alias meninggal dengan kondisi seperti itu.

Sekarang penulis ingin mengulas sedikit cerita mengenai Nabi
Yunus AS. Beliau seorang nabi yang sempat capek mendakwah kepada para manusia bebal yang tidak juga mau beriman, lalu memutuskan meninggalkan umatnya itu dan seperti diketahui, beliau kemudian ditelan ikan paus, memohon ampun dan diberi ampun oleh Allah, dan terakhir kembali kepada kaumnya yang sudah insyaf. Suatu cerita happy ending. Perhatikan juga kisah Nabi Yusuf AS, nabi Ya’qub yang juga happy ending.

What’s the Point ?

Sebenarnya yang ingin disampaikan penulis adalah sederhana, yaitu bahwa manusia pada umumnya hanya melihat pada hasil akhir. Sebuah pepatah mengatakan gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Atau pepatah lain panas setahun dihapus hujan sehari.

Adapun Allah SWT melihat proses. Tambah lagi ditangan-Nya terletak semua takdir.

Itu menjawab mengapa suatu organisasi (perusahaan, lembaga, pemerintahan, dll) cenderung menilai dari hasil akhir.

Untuk lebih jelas mari perhatikan lagi contoh lain.

Dua orang akan mengikuti ujian tulis bulan depan. Si A dan si B.

A belajar mati-matian. Siang malam belajar tekun, berdoa, belajar lagi, istirahat sejenak, belajar lagi, berdoa lagi, bahkan sejak bulan-bulan sebelumnya.

Si B tidak belajar. Tapi ia cukup lihai dan cukup duit untuk bisa melewati ujian dengan nilai baik. Caranya tentu saja tidak sah (kalo pake cara sah, dia tidak lulus karena tidak belajar yang akibatnya juga tidak ngerti bahan ujian).

Hasil ujian ternyata, Si-A mendapat nilai 30, si B mendapat nilai 85. Batas lulus adalah 65.

Jadi, dari kaca mata “manusia”, yanv lulus siapa sudah sangat jelas. Toh juga si-B tidak ketahuan. Yang penting adalah hasil akhir. Si-B lulus dan si-A tidak lulus. That’s all..

Dari kacamata “manusiawi” maka tergantung si manusia-nya alias sangat subyektif. Selemah lembut apa si penentu kelulusan itu tadi, atau setegas apa dia.

Dari sisi Tuhan, semua itu tidak berlaku. IA melihat hasil dan proses, seringkali hasil akhir bukan segalanya, atau juga sebaliknya bisa jadi proses adalah bukan apa-apa. Begitulah “keadilan sejati” yang berhasil penulis pahami. Tentu saja pemahaman ini jauh dari sempurna.
Sumber: http://suarahati.wordpress.com/category/kerja-itu-ibadah/

0 comments:

Post a Comment

Copyright © Marketing Itu Indah